Minggu, 24 Maret 2013

Bapak #1 di dunia (catatan untuk 64 tahunnya)

25 Maret 1949 - now (25 Maret 2013)


64 tahun, bukan waktu yang sebentar. Lebih dari setengah abad, lebih dari usia yang Allah SWT anugrahkan kepada kekasihNya Rasulullah SAW. Lebih 4 tahun dari jatah yang ditetapkan untuk usia kaum Sang Rasul. Lebih dari sekedar jatuh cinta untuk menempatkannya di sanubariku. Lebih dari yang aku bayangkan kasih yang telah diberikannya. Lebih dari sekedar kata-kata yang ingin aku persembahkan. Lebih dari sekedar tangis saat menatapnya. Lebih dari sekedar jiwaku untuk memberi kebahagiaannya. Namun jauh dari kelebihanNya

Bapak sudah tua, itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Bias kerut wajah dan keriputnya telah menjawab itu semua. Semestinya bapak belum setua itu. Ya, smestinya...
Tekanan keadaan dan perjuangan untuk tetap hidup memaksa bapak cepat dewasa (dan menua). Garis kerut wajahnya adalah bukti betapa keras hidupnya, betapa berat perjuangannya untuk diakui semesta. Betapa bapak tidak peduli dengan fisiknya saat ini. Betapa kini bapak semestinya tinggal menikmati hari tuanya. Mengapa bapak masih saja banting tulang bekerja? Ingin aku memaki diriku. Entah mengapa. Apa yang sudah aku berikan pada orang terkasih itu??? Pias...

Meneruskan tulisan ini hanya membuat mataku semakin basah. Aku hanya ingin membahagiakannya. Di sisi umurnya, atau justru usiaku, yang tak akan pernah kumengerti entah sampai kapan.

Bapak sehat-sehat terus ya! Katanya pingin lihat si bungsu ini menikah. Nggak hanya menikah, bapak juga mesti Lihat si bungsu ini punya anak, pasti anaknya tembem, dan mungkin ada lesung pipitnya juga :). Tapi bapak jangan mengada-ada. Bilang kalo lesung pipit ini karna tertusuk paku!
Bapak jangan terlalu capek! si bungsu ini udah bisa mandiri kok, kalaupun sedang terpuruk, nggak akan ditunjukin ke bapak. Bapak hanya akan lihat manisnya saja. Seperti yang bapak bilang, bapak sudah tua, tolong jangan kasih yang pahit, selama ini bapak sudah cukup mencicipi yang pahit.

Maafin anakmu ini ya, pak!

Maaf!

Oiya pak, ibu apa kabar ya di sana???



Selasa, 12 Maret 2013

SENJA UNTUK IBU (sebuah cerpen)



Angin sore masih saja bertiup lembut. Mengibaskan beberapa helai anak rambut yang sengaja kubiarkan tergerai bebas. Aku berjalan lurus menyusuri jalan kecil menuju taman yang dipenuhi pepohonan karet di tepiannya. Daun-daun kering kecoklatan berguguran. Terhempas angin tak beraturan hingga akhirnya jatuh di tanah kering. Sekarang sudah bulan Juli. Musim penghujan akan segera datang. Membawa secercah harapan bagi tunas-tunas hijau yang akan tumbuh di permukaan tanah lembab.
Aku melirik jam dipergelangan tangan, sudah pukul empat lewat lima belas menit. Itu berarti masih ada empat puluh lima menit lagi aku harus menunggu Sekar, sahabat karibku, menyelesaikan kuliah jam terakhirnya hari ini. Tadi siang aku memohon kepada Sekar untuk diijinkan menginap di rumahnya malam ini. Sekar mengiyakan sambil tersenyum simpul. Ia sudah sangat mahfum. Setiap habis bertengkar dengan ibu, aku selalu pergi ke rumahnya. Memilih untuk menengangkan diri di sana.
Daun-daun terus berjatuhan, seperti halnya dilema kehidupan berhamburan menelan waktu. Sesampainya di taman, aku menghempaskan tubuhku pada sebuah bangku kayu panjang yang menghadap ke kolam kecil, yang kini mengering akibat kemarau tak berkesudahan. Pandanganku menatap jauh ke depan, namun pikiranku kembali melayang ke memori pagi tadi.
“Ibu egois! Ibu tidak pernah mengerti keinginanku.” umpatku menahan tangis, memecah kesunyian di rumah kecil kami. Mukaku memerah memancarkan berjuta emosi yang sudah lama kutahan. Ibu hanya diam, tetap bersikap tenang. Lalu ia menatap mataku penuh arti, berusaha mengirimkan sinyal-sinyal kasih sayang yang takkan pernah habis untukku. Sambil mengusap pipiku dengan kedua tangannya, ibu berkata lembut, “ini semua demi kebaikanmu, Sofia.”
Aku tak habis pikir mengapa ibu begitu mengekangku, dan aku tak paham dengan sikapnya yang selalu memperlakukanku seperti putri kecilnya. Aku sudah dewasa. Sebulan kemarin usiaku genap dua puluh tahun. Semestinya, layaknya gadis seusiaku, aku sudah diberikan keleluasaan untuk menentukan apa yang aku inginkan. Namun, dengan otoritasnya sebagai orang tua, ibu selalu berhasil mengatur ruang gerak dan membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupku. Impian kuliah di luar kota dan hidup mandiri terpaksa aku pendam. Begitupun dengan perlakuan jam malam yang harus selalu aku taati. Ibu selalu punya alasan masuk akal untuk melarangku melakukan hal-hal yang aku inginkan. Dan pagi ini ibu kembali melarangku atas suatu rencana. Aku sudah sangat tidak tahan. Aku menapik tangan ibu dari pipiku, kemudian bergegas meninggalkan rumah tanpa menolehnya Lagi. Kudengar dari kejauhan, ibu memanggilku lirih.
Sehelai daun kering yang jatuh tepat mengenai hidungku, menyadarkanku dari lamunan. Hening seketika. Dari atas ranting pepohonan terdengar cicit burung menyambut sore yang kian indah. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Sore ini cukup sunyi. Hanya ada beberapa muda-mudi di tiap sudut bangku taman sedang bersenda gurau. Mungkin karena ini sabtu, tidak banyak mahasiswa yang datang ke kampus. Hanya beberapa yang khusus datang untuk mengambil kelas tambahan, seperti Sekar. Kembali ku edarkan pandangan, kemudian tatapanku berhenti pada sesosok perempuan setengah baya dengan kebaya lusuhnya yang begitu kukenal. Bi Narti menyadari tatapanku, kemudian menganggup sopan dan tersenyum ramah. Entah kenapa otakku memaksa tubuh ini menghampiri perempuan yang berada tiga meter tepat di depanku itu. Ketika sampai di dekatnya, ia kembali tersenyum dan berbicara renyah padaku, “bade pecel, Neng Sofi?” aku mengangguk tersenyum, mengiyakan.
Bi Narti adalah penjual pecel  di kampusku. Dengan berbekal bakul pecel yang disampirkan di punggungnya dengan kain pengikat, dan keranjang kecil yang selalu dijinjingnya, ia berjualan keliling ke setiap sudut kampus. Usia paruh baya tak menghalangi semangatnya untuk terus mencari nafkah. Tak ada yang tahu persis sejak kapan Bi Narti mulai berjualan di kampus ini. Namun, dari ceritanya tentang perkembangan bangunan dan orang-orang yang ada di sekitar tempat ini, aku tahu bahwa ia sudah ada jauh sebelum aku mendaftarkan diri di kampus ini.
Aku banyak mendengar cerita tentang perempuan yang begitu akrab dengan banyak mahasiswa ini. Dari kabar yang beredar, ia kini hidup sebatang kara. Suaminya sudah meninggal sekian tahun lalu. Ia memiliki seorang anak perempuan, tapi kini entah dimana. Setiap kali ditanya mengenai hal ini, ia hanya tersenyum kecil. Seperti berusaha menyembunyikan luka yang begitu perih dalam kebisuannya. Namun pembawaannya yang riang, seakan mampu menguapkan setiap beban hidupnya.
Neng Sofi teh kenapa? Kok ya kelihatan murung?” tanya Bi Narti tiba-tiba, seperti melihat betul kepiluan dalam mataku. Aku tersentak. Menoleh padanya, kemudian menjawab lirih, “Aku kecewa sama ibu, Bi. Ibu selalu melarangku melakukan apa yang aku mau. Ibuku egois.”
Bi Narti tersenyum. Sambil terus membuatkan pecel pesananku, ia berujar “Ibunya Neng Sofi bukannya egois, tapi dia terlalu sayang sama Neng, nggak mau kalau nantinya Neng Sofi sampai kenapa-napa.” Bi Narti menghela napas sejenak, lalu kembali meneruskan, “coba Neng inget-inget, kapan terakhir kali jalan sama ibu? Bibi perhatikan, Neng Sofi sibuk sekali di kampus.”
Pernyataan bi Narti yang begitu jujur dan apa adanya mengusik kesadaranku. Perempuan santun itu betul, sudah lama sekali aku tidak jalan dengan ibu. Bahkan tidak hanya jalan bersama, mengobrol santai pun rasanya sudah lama tidak kami lakukan. Aku terlalu sibuk dengan kuliah dan berbagai kegiatan kampus. Di luar itu, aku sibuk berkumpul bersama teman-teman. Aku sibuk dengan duniaku sendiri. Tanpa disadari, aku semakin jarang di rumah. Kini aku mengerti, kekhawatiran ibu yang aku anggap berlebihan, dengan telepon-teleponnya yang sekedar menanyakan bagaimana keadaanku saat aku tidak di rumah, semata-mata karena beliau ingin selalu melindungiku. Selalu ada untukku dengan caranya sendiri. Aku kini bisa membayangkan, betapa ibu akan sangat kesepian jika anak semata wayangnya ini benar-benar harus berpisah dengannya untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Ibu hanya ingin melihat aku baik-baik saja, tapi aku terlalu egois mengartikannya. Ya, bukan ibu, melainkan akulah yang egois.
Bi Narti terus saja berseloroh, betapa perlakuan seorang ibu adalah wujud cinta kasih pada anaknya. Setiap jengkal napas ibu adalah doa terbaik untuk anak. Air mata anak adalah luka bagi ibu. Betapapun kerasnya sikap ibu, itu semua untuk kebaikan buah hatinya. Saat berbicara, pandangan mata perempuan itu jauh menatap ke depan. Seperti melihat kembali luka lama yang masih saja menganga. Luka yang digoreskan anak perempuannya bertahun-tahun lalu, yang kini entah dimana. Suaranya bergetar hingga tak sanggup meneruskan kalimatnya. Dia mengelap wajah dengan punggung tangan, berusaha menyembunyikan bekas tangis. Namun kesedihan selalu bisa terlihat begitu jelas bahkan tanpa sedusedan.
Aku tertegun menyimak setiap bait kalimat Bi Narti, namun tidak sempat menanggapinya perihal apapun. Pikiranku telah lari ke sosok perempuan bersahaja yang tadi pagi sempat aku lukai hatinya. Mungkin saat ini ibu sedang cemas menantiku di depan pintu sambil sesekali hanya mendengar suara mailbox dari nomer ponselku. Meskipun berpendirian keras, tutur kata ibu selalu lembut dan menenangkan. Ibuku yang sabar, kini begitu aku rindukan.
Setelah pamit dan membayar pecel yang belum sempat kusentuh, aku bergegas meninggalkan taman. Tujuanku hanya satu. Ibu. Aku ingin segera sampai  rumah, menemui perempuan terkasih itu dan memeluknya erat. Senja semakin cantik dengan cahaya kuning berpendar melalui celah-celah pepohonan. Daun-daun masih terus jatuh berguguran ditemani kicauan burung yang mengalun merdu, seakan mengiringiku kembali langkahku melewati jalan kecil itu.
------------
LizZy
@my Room, March 12th 2013

Sabtu, 05 Januari 2013

Ketika dia melintas di ingatanku lewat tengah malam

*sudah lama tidak menulis....* alah, klasik..
banyak sekali ide yang ingin aku tuangkan, tapi entah kenapa sulit digoreskan. Terlalu egois memang, catatan pikiran itu hanya dinikmati semu.
Mungkin karena belakangan ini aku terlalu banyak pikiran. Ah, sudahlah! Pikiran memang tidak akan ada habisnya. Jika sudah habis, pasti aku sudah mati.
Yah, aku hampir saja mati, mati karena pergolakan pikiranku sendiri yg begitu kacangan. Ahh, bukan, itu terlalu sadis. Tapi aku tidak memungkiri kalau ini terlalu naif.
Aku kehilangan seseorang. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa pun. Ini terlalu membingungkan.
Aku terlalu nyaman saat bersamanya. Ingin selalu bersama-sama menghabiskan cerita.
Saat bersamanya, aku dan dia seperti buku cerita berjalan, tidak pernah kehabisan bahasan apa pun.
Tapi itu dulu, sekarang entahlah. Aku seperti kehilangan dirinya. Aku pias.
Padahal, aku tidak pernah memilikinya. Kehilangan sesuatu yang belum pernah dimiliki. Atau lebih tepatnya, mengakhiri sesuatu yang belum pernah dimulai.
Apakah memang seperti ini kenyataannya? Entahlah, aku sendiri tidak mengerti.
Aku tidak mengerti apa keinginananya. Yang aku tahu, dia baik. sangat mengerti aku. Teramat baik dan sangat mengerti aku. Aku tidak pernah marah padanya, karena berkatnyalah aku jadi lebih mengerti hidup.
Aku peduli padanya. Hanya ingin melihatnya baik-baik saja. Itu saja.