25 Maret 1949 - now (25 Maret 2013)
64 tahun, bukan waktu yang sebentar. Lebih dari setengah abad, lebih dari usia yang Allah SWT anugrahkan kepada kekasihNya Rasulullah SAW. Lebih 4 tahun dari jatah yang ditetapkan untuk usia kaum Sang Rasul. Lebih dari sekedar jatuh cinta untuk menempatkannya di sanubariku. Lebih dari yang aku bayangkan kasih yang telah diberikannya. Lebih dari sekedar kata-kata yang ingin aku persembahkan. Lebih dari sekedar tangis saat menatapnya. Lebih dari sekedar jiwaku untuk memberi kebahagiaannya. Namun jauh dari kelebihanNya
Bapak sudah tua, itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Bias kerut wajah dan keriputnya telah menjawab itu semua. Semestinya bapak belum setua itu. Ya, smestinya...
Tekanan keadaan dan perjuangan untuk tetap hidup memaksa bapak cepat dewasa (dan menua). Garis kerut wajahnya adalah bukti betapa keras hidupnya, betapa berat perjuangannya untuk diakui semesta. Betapa bapak tidak peduli dengan fisiknya saat ini. Betapa kini bapak semestinya tinggal menikmati hari tuanya. Mengapa bapak masih saja banting tulang bekerja? Ingin aku memaki diriku. Entah mengapa. Apa yang sudah aku berikan pada orang terkasih itu??? Pias...
Meneruskan tulisan ini hanya membuat mataku semakin basah. Aku hanya ingin membahagiakannya. Di sisi umurnya, atau justru usiaku, yang tak akan pernah kumengerti entah sampai kapan.
Bapak sehat-sehat terus ya! Katanya pingin lihat si bungsu ini menikah. Nggak hanya menikah, bapak juga mesti Lihat si bungsu ini punya anak, pasti anaknya tembem, dan mungkin ada lesung pipitnya juga :). Tapi bapak jangan mengada-ada. Bilang kalo lesung pipit ini karna tertusuk paku!
Bapak jangan terlalu capek! si bungsu ini udah bisa mandiri kok, kalaupun sedang terpuruk, nggak akan ditunjukin ke bapak. Bapak hanya akan lihat manisnya saja. Seperti yang bapak bilang, bapak sudah tua, tolong jangan kasih yang pahit, selama ini bapak sudah cukup mencicipi yang pahit.
Maafin anakmu ini ya, pak!
Maaf!
Oiya pak, ibu apa kabar ya di sana???
Minggu, 24 Maret 2013
Selasa, 12 Maret 2013
SENJA UNTUK IBU (sebuah cerpen)
Angin sore
masih saja bertiup lembut. Mengibaskan beberapa helai anak rambut yang sengaja
kubiarkan tergerai bebas. Aku berjalan lurus menyusuri jalan kecil menuju taman
yang dipenuhi pepohonan karet di tepiannya. Daun-daun kering kecoklatan
berguguran. Terhempas angin tak beraturan hingga akhirnya jatuh di tanah
kering. Sekarang sudah bulan Juli. Musim penghujan akan segera datang. Membawa
secercah harapan bagi tunas-tunas hijau yang akan tumbuh di permukaan tanah
lembab.
Aku melirik
jam dipergelangan tangan, sudah pukul empat lewat lima belas menit. Itu berarti
masih ada empat puluh lima menit lagi aku harus menunggu Sekar, sahabat
karibku, menyelesaikan kuliah jam terakhirnya hari ini. Tadi siang aku memohon
kepada Sekar untuk diijinkan menginap di rumahnya malam ini. Sekar mengiyakan
sambil tersenyum simpul. Ia sudah sangat mahfum. Setiap habis bertengkar dengan
ibu, aku selalu pergi ke rumahnya. Memilih untuk menengangkan diri di sana.
Daun-daun
terus berjatuhan, seperti halnya dilema kehidupan berhamburan menelan waktu.
Sesampainya di taman, aku menghempaskan tubuhku pada sebuah bangku kayu panjang
yang menghadap ke kolam kecil, yang kini mengering akibat kemarau tak
berkesudahan. Pandanganku menatap jauh ke depan, namun pikiranku kembali
melayang ke memori pagi tadi.
“Ibu egois!
Ibu tidak pernah mengerti keinginanku.” umpatku menahan tangis, memecah
kesunyian di rumah kecil kami. Mukaku memerah memancarkan berjuta emosi yang
sudah lama kutahan. Ibu hanya diam, tetap bersikap tenang. Lalu ia menatap
mataku penuh arti, berusaha mengirimkan sinyal-sinyal kasih sayang yang takkan
pernah habis untukku. Sambil mengusap pipiku dengan kedua tangannya, ibu
berkata lembut, “ini semua demi kebaikanmu, Sofia.”
Aku tak habis
pikir mengapa ibu begitu mengekangku, dan aku tak paham dengan sikapnya yang
selalu memperlakukanku seperti putri kecilnya. Aku sudah dewasa. Sebulan
kemarin usiaku genap dua puluh tahun. Semestinya, layaknya gadis seusiaku, aku
sudah diberikan keleluasaan untuk menentukan apa yang aku inginkan. Namun,
dengan otoritasnya sebagai orang tua, ibu selalu berhasil mengatur ruang gerak
dan membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupku. Impian kuliah di luar
kota dan hidup mandiri terpaksa aku pendam. Begitupun dengan perlakuan jam
malam yang harus selalu aku taati. Ibu selalu punya alasan masuk akal untuk
melarangku melakukan hal-hal yang aku inginkan. Dan pagi ini ibu kembali
melarangku atas suatu rencana. Aku sudah sangat tidak tahan. Aku menapik tangan
ibu dari pipiku, kemudian bergegas meninggalkan rumah tanpa menolehnya Lagi.
Kudengar dari kejauhan, ibu memanggilku lirih.
Sehelai daun
kering yang jatuh tepat mengenai hidungku, menyadarkanku dari lamunan. Hening
seketika. Dari atas ranting pepohonan terdengar cicit burung menyambut sore
yang kian indah. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Sore ini cukup
sunyi. Hanya ada beberapa muda-mudi di tiap sudut bangku taman sedang bersenda
gurau. Mungkin karena ini sabtu, tidak banyak mahasiswa yang datang ke kampus.
Hanya beberapa yang khusus datang untuk mengambil kelas tambahan, seperti
Sekar. Kembali ku edarkan pandangan, kemudian tatapanku berhenti pada sesosok
perempuan setengah baya dengan kebaya lusuhnya yang begitu kukenal. Bi Narti
menyadari tatapanku, kemudian menganggup sopan dan tersenyum ramah. Entah
kenapa otakku memaksa tubuh ini menghampiri perempuan yang berada tiga meter
tepat di depanku itu. Ketika sampai di dekatnya, ia kembali tersenyum dan
berbicara renyah padaku, “bade pecel,
Neng Sofi?” aku mengangguk tersenyum,
mengiyakan.
Bi Narti
adalah penjual pecel di kampusku. Dengan
berbekal bakul pecel yang disampirkan di punggungnya dengan kain pengikat, dan
keranjang kecil yang selalu dijinjingnya, ia berjualan keliling ke setiap sudut
kampus. Usia paruh baya tak menghalangi semangatnya untuk terus mencari nafkah.
Tak ada yang tahu persis sejak kapan Bi Narti mulai berjualan di kampus ini. Namun,
dari ceritanya tentang perkembangan bangunan dan orang-orang yang ada di
sekitar tempat ini, aku tahu bahwa ia sudah ada jauh sebelum aku mendaftarkan
diri di kampus ini.
Aku banyak
mendengar cerita tentang perempuan yang begitu akrab dengan banyak mahasiswa
ini. Dari kabar yang beredar, ia kini hidup sebatang kara. Suaminya sudah
meninggal sekian tahun lalu. Ia memiliki seorang anak perempuan, tapi kini
entah dimana. Setiap kali ditanya mengenai hal ini, ia hanya tersenyum kecil.
Seperti berusaha menyembunyikan luka yang begitu perih dalam kebisuannya. Namun
pembawaannya yang riang, seakan mampu menguapkan setiap beban hidupnya.
“Neng Sofi teh kenapa? Kok ya kelihatan murung?” tanya Bi Narti tiba-tiba,
seperti melihat betul kepiluan dalam mataku. Aku tersentak. Menoleh padanya,
kemudian menjawab lirih, “Aku kecewa sama ibu, Bi. Ibu selalu melarangku
melakukan apa yang aku mau. Ibuku egois.”
Bi Narti
tersenyum. Sambil terus membuatkan pecel pesananku, ia berujar “Ibunya Neng Sofi bukannya egois, tapi dia
terlalu sayang sama Neng, nggak mau kalau nantinya Neng Sofi sampai kenapa-napa.” Bi Narti menghela napas sejenak, lalu kembali meneruskan,
“coba Neng inget-inget, kapan
terakhir kali jalan sama ibu? Bibi perhatikan, Neng Sofi sibuk sekali di kampus.”
Pernyataan bi
Narti yang begitu jujur dan apa adanya mengusik kesadaranku. Perempuan santun
itu betul, sudah lama sekali aku tidak jalan dengan ibu. Bahkan tidak hanya
jalan bersama, mengobrol santai pun rasanya sudah lama tidak kami lakukan. Aku
terlalu sibuk dengan kuliah dan berbagai kegiatan kampus. Di luar itu, aku
sibuk berkumpul bersama teman-teman. Aku sibuk dengan duniaku sendiri. Tanpa
disadari, aku semakin jarang di rumah. Kini aku mengerti, kekhawatiran ibu yang
aku anggap berlebihan, dengan telepon-teleponnya yang sekedar menanyakan
bagaimana keadaanku saat aku tidak di rumah, semata-mata karena beliau ingin
selalu melindungiku. Selalu ada untukku dengan caranya sendiri. Aku kini bisa
membayangkan, betapa ibu akan sangat kesepian jika anak semata wayangnya ini benar-benar harus berpisah dengannya untuk melanjutkan
kuliah di luar kota. Ibu hanya ingin melihat aku baik-baik saja, tapi aku
terlalu egois mengartikannya. Ya, bukan ibu, melainkan akulah yang egois.
Bi Narti terus
saja berseloroh, betapa perlakuan seorang ibu adalah wujud cinta kasih pada
anaknya. Setiap jengkal napas ibu adalah doa terbaik untuk anak. Air mata anak
adalah luka bagi ibu. Betapapun kerasnya sikap ibu, itu semua untuk kebaikan
buah hatinya. Saat berbicara, pandangan mata perempuan itu jauh menatap ke
depan. Seperti melihat kembali luka lama yang masih saja menganga. Luka yang
digoreskan anak perempuannya bertahun-tahun lalu, yang kini entah dimana.
Suaranya bergetar hingga tak sanggup meneruskan kalimatnya. Dia mengelap wajah
dengan punggung tangan, berusaha menyembunyikan bekas tangis. Namun kesedihan
selalu bisa terlihat begitu jelas bahkan tanpa sedusedan.
Aku tertegun
menyimak setiap bait kalimat Bi Narti, namun tidak sempat menanggapinya perihal
apapun. Pikiranku telah lari ke sosok perempuan bersahaja yang tadi pagi sempat
aku lukai hatinya. Mungkin saat ini ibu sedang cemas menantiku di depan pintu
sambil sesekali hanya mendengar suara mailbox
dari nomer ponselku. Meskipun berpendirian keras, tutur kata ibu selalu lembut
dan menenangkan. Ibuku yang sabar, kini begitu aku rindukan.
Setelah pamit
dan membayar pecel yang belum sempat kusentuh, aku bergegas meninggalkan taman.
Tujuanku hanya satu. Ibu. Aku ingin segera sampai rumah, menemui perempuan terkasih itu dan
memeluknya erat. Senja semakin cantik dengan cahaya kuning berpendar melalui
celah-celah pepohonan. Daun-daun masih terus jatuh berguguran ditemani kicauan
burung yang mengalun merdu, seakan mengiringiku kembali langkahku melewati
jalan kecil itu.
------------
LizZy
@my Room, March 12th 2013
Langganan:
Postingan (Atom)