Senin, 07 November 2011

Buskota, cerminan Masyarakat Jakarta

Sesak, panas, kotor, dan udara yg berbau adalah suasana yg biasa saya rasakan hampir stiap harinya, dan membuat saya mpersiapkan segala sesuatunya dgn matang sblum menghadapinya. Uang lembar tiga ribuan saya persiapkan sedemikian rupa & ertsimpan dgn tdk rapi di kantong celana bahan saya. Spatu crocs kw super & tas selempang yg mampu mnampung semua keperluan hidup saya sehari2, termasuk dompet, payung, vitamin, pelembab bibir, handphone, hingga pulpen & note, mjd teman setia saya. Selembar masker anti bakteri telah menutup hidung & bibir saya. Selain karena takut debu & bau2 lainnya, masker jg sangat ampuh utk menghindari sexual harassment yg kerap kali saya rasakan setiap berjalan di tepi jalan raya dan memasuki buskota atau angkutan umum lainnya. Dgn memakai masker, mereka mgkn berpikir saya adalah org berpenyakitan atau saya menutupi cacat di muka, shg mulut2 usil maupun tangan2 jahil mreka yg haus utk mempermalukan harga diri perempuan sedikit berkurang.

Saya bukan termasuk dalam golongan masyarakat yg bisa membeli bensin tak bersubsidi & menggunakan kendaraan pribadi setiap harinya. Saya, seperti kebanyakn masyarkat pd umumnya, tdk memiliki banyak pilihan utk bermobilisasi, kecuali dgn kndaraan umum. Sialnya, transjakarta yg katanya nyaman & cepat itu bukan kendaraan umum yg bisa mjd alternative utk saya, krn keterbatasan armadanya. Hal itulah yg membuat saya bersahabat dgn buskota mayasari non AC.

Pada awalnya saya slalu mengeluh dgn ketidaknyamanan yg saya rasakn dalam bus ekonomi itu. Saya seringkali mengutuk si 'bpk berkumis tebal' yg mengklaim dirinya sbg ”ahli Jakarta” itu, krn mendiskriminasikan orang2 yg harus menaiki kendaraan umum lain, selain transjakarta kebanggaannya. Beberapa saat kemudian, saya menyadari bahwa ada banyak hal lain yg saya dapatkan selain bau keringat, virus flu, & pelecehan seksual dalam kendaraan umum, ternyata saya bisa melihat potret keberagaman masyarakat Jakarta di sana.

Tdk seperti transjakarta atau kendaraan umum lain yg menggunakan pendingin udara, buskota tarif ekonomi ini menampung berbagai macam jenis masyarakat yg berasal dr status sosial yg berbeda. Dr petugas kebersihan jalan raya, sampai bintang iklan yg wajahnya sgt familiar di tv pernah saya temui di sana.

Seorang perempuan cantik bermake-up dgn blus bagus & sepatu tumit tinggi pernah saya lihat di sana. Wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan & kegerahan yg teramat sgt. Tp prempuan itu bagi saya hanyalah sebagian kecil dr berbagai macam golongan masyarkat yg pernah saya temui di buskota,

Hal yg kerap saya temui adalah mereka yg benar2 merupakan potret masyarakat Jakarta pada umumnya. Seorang pedagang keliling, tergopoh2 dgn susah payah memasukan dagangnnya dgn alat pikul jg sering saya temui ketika bus tdk terlalu penuh sesak. Ia tdk duduk, hanya berdiri di samping dagangnnya, sambil sesekali menjaga agar barang dagangnya tersebut tdk jatuh berserakan. Wajahnya terlihat kelelahan namun jg tersirat rona bahagia, mgkn krn dirinya tdk hrs pulang ke rumah dgn berjalan kaki sambil memikul dagangannya yg teramat berat.

Saya tertegun. Saya heran mengapa mereka bisa terlihat cukup puas dgn semua keterbatasan yg mereka miliki, & sgala hak sbg warga negara yg mungkin belum sepenuhnya mereka dapatkan. Saya bertanya2, pernahkah mreka merasa terzhalimi oleh negara atau mengutuk si pak kumis yg ingkar janji seperti yg slalu saya lakukan selama ini? Mungkn iya, mungkn jg tidak. Setidaknya, wajah mereka terlihat bahagia ketika berada dalam bus yg menurut saya kurang manusiawi itu.

Saya bisa mengenyam pendidikan hingga universitas, saya memiliki pekerjaan dgn upah di atas UMR, dan saya tinggal di rumah dengan sertifikat legal yg bebas banjir, namun saya masih merajuk hanya krn buruknya kondisi kendaraan umum di Jakarta. Pada akhirnya, saya merasa malu pd diri sendiri yg sering mengeluh & kurang bersyukur pd kesempatan & hak yg telah saya dapatkan sbg warga Negara Indonesia. Saya hrus belajar banyak dr mereka, sesama penumpang buskota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar